Senin, 25 Januari 2010

Aplikasi GIS dalam pengelolaan SDA

Berikut dua contoh pengelolaan GIS dalam pengelolaan SDA:


1.  Prioritas Breadth Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL)
 
Formulasi permasalahan
 
Upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) sangat penting untuk memulihkan kembali fungsi lahan yang kritis. Yang dimaksud dengan lahan kritis adalah lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas toleransi. Sasaran kegiatan RHL adalah lahan-lahan dengan fungsi lahan yang ada kaitannya dengan kegiatan rehabilitasi dan penghijauan, yaitu fungsi kawasan hutan lindung, fungsi kawasan hutan lindung di luar kawasan hutan dan fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian.


Kriteria yang digunakan
 
Kriteria kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan mengacu kepada dokumen ’Standar dan Kriteria Rehabilitasi Hutan dan Lahan’, yang merupakan Lampiran dari SK Menteri
Kehutanan No. 20/Kpts-II/2001 tentang Pola Umum dan Standar serta Kriteria Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
Konsep Dasar
• RHL adalah segala upaya untuk memulihkan dan mempertahankan fungsi sumberdaya hutan dan lahan.
• RHL diselenggarakan pada semua kawasan hutan dan lahan yang kritis dan tidak produktif.
• RHL dilaksanakan berdasarkan kondisi spesifik biofisik dan potensi masyarakat setempat.
• RHL dilaksanakan dengan pendekatan partisipatif dalam rangka pengembangan kapasitas masyarakat.


Metodologi

Sebelum kita bisa menentukan langkah-langkah yang diperlukan, kita harus memformulasikan permasalahan, menyesuaikan dengan abstracts yang ada dan memilih
operasi yang perlu diambil untuk menjawab permasalahan. Langkah-langkah yang perlu dijalankan adalah identifikasi abstracts dasar, pemrosesan abstracts dasar menjadi abstracts yang dapat menentukan tingkat kekritisan suatu area, dan yang terakhir adalah analisa
hasil
Identifikasi abstracts dasar
Dalam hal pembuatan peta Lahan Kritis (LHK), kita mengidentifikasi data-data dasar yang berkaitan dengan kekritisan lahan sebagai berikut:
• DEM (Digital Elevation Model) dari peta kontur yang diambil dari Peta Rupabumi Indonesia, skala 1:50.000 produksi Bakosurtanal. DEM adalah suatu citra yang secara akurat memetakan ketinggian dari permukaan bumi. DEM ini dibuat dari peta kontur,
peta aliran sungai dan peta titik tinggi dengan resolusi 30 meter.
• Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan, diperoleh dari Departemen Kehutanan.
• Peta Rencana Tata Ruang dan Wilayah Propinsi, diperoleh dari Bappeda Tk I.
• Peta Penutupan Lahan 1996 hasil klasifikasi citra Landsat TM.
• Peta Kebakaran Hutan 1997/1998 produksi GTZ/IFFM.
• Peta Kesesuaian Lahan 1:250.000 produksi RePPProT.
Proses pengolahan abstracts dasar
Dari abstracts dasar yang ada, kemudian kita proses menjadi abstracts yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat kekritisan suatu area. Proses yang dijalankan adalah:
• Kelas kelerengan dibuat dari abstracts dasar DEM dengan cara membuat peta lereng, kemudian diklasifikasikan (1:0-8%, 3:8-15%, 5:15-25%, 7:25-40%, 10:>40%).
• Kelas fungsi dibuat dari peta TGHK (1:perairan, 2:area penggunaan lain, 3:hutan produksi yang bisa konversi, 4:hutan produksi, 5:hutan produksi
terbatas, 6:hutan lindung, hutan suaka alam dan wisata).
• Kelas peruntukkan dibuat dari peta RTRWP (1:kawasan lindung dan perairan, 2:kawasan budi daya kehutanan, 3:kawasan budi daya nonkehutanan).
• Kelas kerusakan dibuat dari peta Kebakaran hutan (1:no data, 2:tingkat kerusakan rendah, 3: tingkat kerusakan sedang, 4: tingkat kerusakan tinggi).
• Dari peta kesesuaian lahan dibuat peta jenis tanah untuk menghasilkan kelas erosi (1:gambut, 2:alluvium, 3:balsa tuff, 4:limestone, 5:sandstone).
• Kelas vegetasi dibuat dari peta penutupan lahan (1:hutan, 2:karet, 3:belukar tua, 4:belukar muda dan semak, 5:alang-alang dan daerah terbuka).

Pelaksanaan pemodelan
Untuk keperluan pemodelan, kelas-kelas yang di dapatkan ini kemudian di-overlay berdasarkan skema pembobotan yang dibuat berdasarkan pengalaman pemodel sebagai
berikut:
• kelas lereng (15).
• kelas fungsi (5).
• kelas peruntukkan (5).
• kelas kerusakan (10).
• kelas vegetasi (50).
• kelas erosi (15).

Berikut disajikan urut-urutan proses di atas dalam bentuk diagram alur:


 










 





Perangkat lunak untuk pemodelan
Perangkat lunak untuk pemodelan adalah dengan menggunakan spatial analyst versi 2.0 yang nantinya akan diinstall pada software arc view


2. Estimasi Potensi Rotan


Formulasi permasalahan

Aplikasi selanjutnya adalah aplikasi untuk menggunakan SIG untuk mengestimasi potensi. Pada aplikasi ini, kita melihat potensi rotan dari berbagai aspek, berdasarkan abstracts penunjang dan pengalaman lapang yang kita miliki. Dalam aplikasi ini, suatu daerah dikategorikan berpotensi rotan tinggi apabila secara biofisik rotan bisa tumbuh dengan baik, dan secara infrastruktur dan secara acknowledged bisa dijangkau oleh masyarakat untuk pemanenan.


Asumsi yang digunakan

• Rotan yang bisa dipanen ada di daerah dengan tutupan lahan belukar tua (di atas 10 tahun) dan hutan.
• Berjarak kurang dari 4 km dari pemukiman atau kurang dari 4 km dari sungai yang bisa dicapai kurang dari 8 jam perjalanan menggunakan ketinting dari pemukiman.
• Secara biofisik areal tersebut cocok untuk tumbuhnya rotan.
• Seandainya terkena kebakaran pada tahun 1997 hanya sampai tingkat 0-1.
• Tidak terdapat pada breadth di sekitar jalan logging, HTI, perkebunan dan pertambangan.
Identifikasi abstracts dasar
Data-data dasar yang dapat dikumpulkan adalah:
• Peta Jaringan Sungai. Abstracts tersebut diambil dari peta topografi skala 1:50.000 dari BAKOSURTANAL.
• Peta Jaringan Jalan. Diambil dari peta topografi skala 1:50.000 produksi Bakosurtanal dan delineasi dari Landsat TM.
• Peta Pemukiman. Diambil dari peta topografi skala 1:50.000 produksi Bakosurtanal.
• Peta Penutupan Lahan 1996. Merupakan hasil klasifikasi citra Landsat TM.
• Peta Kebakaran Hutan 1997/1998 produksi GTZ/IFFM.
• Peta Kesesuaian Lahan 1:250.000 produksi RePPProT.
• Peta DEM


Proses pengolahan abstracts dasar.
• Dari abstracts jaringan sungai dilihat dari dua aspek yaitu aspek biofisik dan aspek aksesibilitas.
o Aspek biofisik
Potensi rotan dihitung berdasarkan estimasi mengenai tempat dimana dia dapat tumbuh yang direpresentasikan menurut jaraknya dari sungai. Kemudian dari jarak yang didapat diberi skor menurut prioritas ditemukannya (1:0-0.5 km, 3: >5.0 km, 8:3.0-5.0 km, 10:0.5-3.0).
o Aspek aksesibilitas
Potensi rotan dihitung berdasarkan tingkat kemudahannya dicapai melalui sungai. Dari jarak yang didapat diberi skor (2:>4 km, 5:2-3 km, 8:1-2 km, 10:0-1 km).
• Sama halnya dengan jaringan sungai, abstracts jaringan jalan juga dilihat dari dua aspek:
o Aspek biofisik
Potensi rotan dihitung berdasarkan kemungkinan tumbuhnya di sekitar jalan. Mula-mula buat absorber 5 km untuk masing-masing kelas jalan dengan asumsi bahwa lebih dari 5 km sudah tidak ada pengaruh jalan terhadap kemungkinan tumbuhnya rotan. Kemudian beri skor berdasarkan kelas jalan (1:Jalan PU, 3: Jalan
aspal, 5: Jalan tambang, 7:Jalan logging, 10:Jalan swadaya).
o Aspek aksesibilitas
Potensi rotan dihitung berdasarkan kemudahan dicapai dari lokasi pemukiman. Pertama-tama buat absorber sebesar 30 km dari pemukiman, kemudian ekstrak hanya jalan kelas 1, 3 dan 4 yang tercakup dalam buffer. Beri skor berdasarkan jarak tempuh (1:>6 km, 5:4-6 km, 10:0-4 km).
Berdasarkan aksesibilitasnya dari pemukiman, potensi rotan dihitung berdasarkan kemauan petani berjalan kaki dari pemukiman untuk mencapai breadth dimana rotan ditemukan. Skor dibuat berdasarkan waktu tempuh (1:>10 jam, 4:7-10 jam, 8:4-7 jam, 10:0-4 jam).
• Berdasarkan penutupan lahan yang ada dicari kemungkinan daerah tumbuhnya rotan, lalu diberi skor berdasarkan potensinya (1:daerah terbuka, alang-alang, karet, 2:semak, 6:hutan, 8:belukar muda, 10:belukar tua).
• Dari peta kebakaran hutan dicari tingkat kerusakan karena kebakaran, lalu diberi skor potensi kemungkinan tumbuhnya rotan (1:tingkat kerusakan sedang dan tinggi, 10: tidak terbakar dan tingkat kerusakan rendah).
• Berdasarkan peta Kesesuaian Lahan untuk agro-forest, beri skor potensi rotan (1:tidak sesuai, 10:sesuai)
• Dari peta DEM dibuat peta kelerengan, kemudian beri skor potensi rotan (1:>40%, 4:25-40%, 6:15-25%, 8:8-15%, 10:0-8%).
Pelaksanaan pemodelan
Overlay-kan hasil yang didapat berdasarkan skema pembobotan yang dibuat berdasarkan pengalaman
pemodel, sebagai berikut:
















Overlay multiple layer potensi rotan berdasarkan masing-masing variabel dengan skema pembobotan
yang disesuaikan dengan expert judgement, menggunakan ArcView/Model Builder.

5 komentar:

  1. salam kenal mas, nice post.
    tapi sepertinya saya pernah membacanya.software apa yang dipake disini..?

    BalasHapus
  2. salam kenal...iya, saya kutip dari buku yang berjudul "SIG untuk pengelolaan SDA" yang dikeluarkan CIFOR, saya pake arc view, arc gis dan auto cad mas kadang2 juga pake erdas imagine

    BalasHapus
  3. oia mas..punya tutorial tentang Spasial Multi Criteria Decision Analysis ga??..soalnya saya lagi nysun skripsi SIG penentuan tingkat bahaya tanah longsor/erosi mnggunakan metode skoring dan overlay peta..nah rencananya skoringnya saya pake SMCDA tadi.

    BalasHapus
  4. Salam kenal Tiyo..hmm..Setau saya penggunaan teknis metode skoring adalah dengan menggunakan calculator di atribut software arc view..dengan skor tertentu, kita bisa nentuin areal2 mana yang potensi erosi sedang, menengah dan tinggi

    kalo soal teorinya, coba googling tentang metode UCLA..disini kita juga menggunakan peta vektor sebagai acuan skoring..ada beberapa kriteria kalo gak salah

    intinya kalo metode skoring itu kita nentuin skor, dan harus mengetahui juga dasar apa yang dipake ketika kita menggunakan skor tersebut

    BalasHapus
  5. tnks artikelnya
    ini sangat membantu saya. apalagi saya masih baru di bidang ini. di tunggu tutorial yang lainnya lagi

    BalasHapus